Welcome to our website

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate velit esse cillum dolore eu fugiat nulla pariatur. Excepteur sint occaecat cupidatat non proident, sunt in culpa qui officia deserunt mollit anim id est laborum. ed ut perspiciatis unde omnis iste.

KAMI BERBEDA TAPI TETAP SAMA

KAMI BERBEDA TAPI TETAP SAMA

Jumat, 13 Desember 2013

Prinsip-prinsip Pembelajaran Secara Khusus Bagi Anak Tunarungu

Pembelajaran yang dilakukan bagia siswa mendengar berbeda dengan pembelajaran bagi anak tunarungu, anak tunarungu lebih mengandalkan visualnya serta pembelajaran dapat mudah dipahami jika guru melakukan prinsip-prinsip di bawah ini:
  1. Prinsip keterarahwajahan
  2. Dalam menyampaikan materi pembelajaran, guru harus berdiri di depan sehingga wajah guru khususnya mulut guru dapat dilihat oleh anak tunarungu tanpa terhalang apapun, sehingga anak tunarungu dapat memahami apa yang disampaikan oleh gurunya.Hindari memberikan penjelasan sambil berjalan baik di depan kelas maupun ke belakang kelas.Ketika berbicara dengan tunarungu harus berhadapan langsung (face to face) sehingga pesan yang disampaikan dapat dipahami dan pembelajaran dapat lebih dimengerti.
  3. Prinsip keterarahsuaraan
  4. Bagi anak tunarungu suara tidak perlu keras dan kencang, namun guru harus berbicara jelas dengan artikulasi yang tepat sehingga dapat dipahami oleh tunarungu. Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan tidak sia-sia.
  5. Prinsip Intersubyektifitas
  6. Dalam pembelajaran guru dan siswa tunarungu sebagai unsur yang penting harus dapat membangun suatu kesamaan dalam proses pengamatan, apa yang akan diucapkan oleh anak dengan perantara visualnya harus segera direspon dan dibahasakan kembali oleh guru.
  7. Prinsip kekonkritan
  8. Dalam memberikan pembelajaran kepada anak tunarungu harus konkrit hal ini dikarenakan anak tunarungu daya abstraksinya rendah dibandingkan anak mendengar karena minimnya bahasa yang dimiliki. Segala sesuatu yang diajarkan hendaknya disertai dengan contoh-contoh nyata dan yang mudah dipahami.
  9. Prinsip Visualisasi
  10. Pendengaran anak tunarungu tidak dapat berfungsi maka melalui indera penglihatannya anak tunarungu berusaha memperoleh informasi, untuk itu semua pembelajaran yang diberikan oleh guru hendaknya dapat diilustrasikan dalam bentuk gambar yang bercerita tentang materi yang diberikan atau lebih dikenal dengan visualisasi yang berguna untuk memudahkan anak tunarungu mengerti akan maksud dan isi pembelajaran.
  11. Prinsip Keperagaan
  12. Setiap kata yang keluar dari mulut guru hendaknya diulas lebih lanjut hingga anak tunarungu betul-betul paham maksud dari kata tersebut, kemudian memperagaan atau mempraktekkannya akan lebih memudahkan anak tunarungu untuk mengerti apa yang diajarkan serta upayakan semua pembelajaran yang dilakukan dapat diperagakan secara pengalaman oleh anak sehingga anak mudah memahami dan mengerti apa yang diajarkan guru.
  13. Prinsip pengalaman yang menyatu
  14. Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi yang diterima, Mengajak anak tunarungu untuk “mengalami” secara nyata dapat memudahkan anak untuk mengerti akan hubungan-hubungan yang ada.
  15. Prinsip belajar sambil melakukan
  16. Pembelajaran hendaknya dapat bermakna bagi semua siswa tidak terkecuali bagi anak tunarungu, untuk itu segala sesuatu yang dipelajari harus dapat dipraktekkan dan dilakukan oleh anak tunarungu. Penggunaan strategi pembelajaran yang langsung melibatkan anak lebih bermanfaat dibandingkan anak hanya mendengarkan saja.

    SUMBER : http://www.bintangbangsaku.com/artikel/prinsip-prinsip-pembelajaran-di-sekolah-inklusi-tuna-rungu

Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunarungu di Kelas Inklusi

Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:
  1. Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.
  2. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
  3. Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah.
  4. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan.
  5. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus.
  6. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.
Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal reflektif.(MMR).
Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya. Hal ini dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu menyerap informasi.
Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga tunarungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar.Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.
  1. Kegiatan Percakapan
  2. Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977).
    Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru (seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.
    Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang kemudian dibacanya.
    Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu menurut MMR merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan demikian dapat diaktakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung secara serempak.
    Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu, prinsip-prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular anak tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam substansi materi yang akan diberikan.
    Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu berbasis pada pengembangan bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan, karena tanpa bahasa yang dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan bermanfaat.
  3. BKPBI dan Bina Wicara Sebagai Pendukung dalam Pembelajaran Tunarungu di Sekolah Inklusi
  4. Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi.
    Pembinaan secara sengaja yang dimaksud adalah bahwa pembinaan itu dilakukan secara terprogram; tujuan, jenis pembinaan, metode yang digunakan dan alokasi waktunya sudah ditentukan sebelumnya. Sedangkan pembinaan secara tidak sengaja adalah pembinaan yang spontan karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang yang hadir pada situasi pembelajaran di kelas, sepeti bunyi motor, bunyi helikopter atau halilintar, kemudian guru membahasakannya. Misalnya, “Oh kalian dengar suara motor ya ? Suaranya ‘brem... brem... brem...’ benar begitu ?”. Kemudian guru mengajak anak menirukan bunyi helikopter dan kembali meneruskan pembelajaran yang terhenti karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang tadi
    Secara singkat tujuan BKPBI adalah sebagai berikut :
  • Agar anak tunarungu dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung pada daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati anak normal.
  • Agar kehidupan emosi anak tunarungu berkembang dengan lebih seimbang.
  • Agar penyesuaian anak tunarungu menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya yang lebih luas.
  • Agar motorik anak tunarungu berkembang lebih sempurna.
  • Agar anak tunarungu mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih baik sebagai bekal hidup di masyarakat yang mendengar.
Dalam hal kemampuan berbicara, BKPBI dapat membantu agar anak tunarungu dapat membentuk sikap terhadap bicara yang lebih baik dan cara berbicara yang lebih jelas. Sarana BKPBI mencakup :
  1. Ruang Khusus untuk kegiatan pembelajaran yang sebaiknya dilengkapi dengan medan pengantar bunyi (sistem looping).
  2. Perlengkapan terdiri atas perlengkapan nonelektronik dan perlengkapan elektronik.
  3. Alat-alat penunjang yaitu perlengkapan bermain.
  4. Tenaga khusus pelaksana BKPBI hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memiliki latar belakang pendidikan guru anak tunarungu, memiliki dasar pengetahuan tentang musik, dan memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan musik.
Sekolah yang di dalamnya terdapat anak tunarungu,hendaknya memiliki ruang BKPBI sebagai pendukung dalam membelajarkan anak tunarungu dalam mengolah bahasanya. Sehingga kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat ditingkatkan dan semakin berkembang. Guru berlatarbelakang pendidikan luar biasa kajian tunarungu, sangat diperlukan dalam mengembangkan bahasa anak tunarungu melalui BKPBI dan Bina Wicara.Untuk itu sekalipun berada di kelas inklusi namun anak tunarungu tetap mendapatkan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara. strong>BKPBI dan Bina Wicara ini sebaiknya diberikan secara rutin dan terus menerus hingga kosa kata anak bertambah banyak dan pada akhirnya mampu berkomunikasi dengan baik dan benar.
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi yang dipaparkan diatas adalah salah satu contoh bentuk pembelajaran yang memasukan anak tunarungu di kelas regular untuk bersama-sama belajar dengan anak mendengar lainnya namun dalam waktu tertentu anak tunarungu tersebut diberikan latihan-latihan yang mampu membantu anak untuk memperoleh bahasa dan mengolah bahasa yang sudah dimilkinya melalui pendekatan MMR lalu ditunjang dengan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara.
Memasukan anak tunarungu ke dalam kelas inklusi tanpa memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut hanyalah sia-sia dan menambah penderitaan anak tunarungu saja. Untuk itu agar tidak menjadi penderitaan anak tunarungu sebaiknya sekolah harus benar-benar memberikan semua kebutuhan anak tunarungu dalam proses pembelajarannya melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan pendekatan MMR melalui percakapan dengan didukung strong>BKPBI dan Bina Wicara. Dengan demikian pembelajaran anak tunarungu yang dilakukan di kelas inklusi dapat bermakna, sehingga anak tunarungu keberadaanya di sekolah inklusi bukan hanya sekedar diterima namun juga terlayani secara kebutuhannya yang terkait dengan kemampuannya untuk berbahasa dan berkomunikasi tanpa harus mendiskriminasikannya.

SUMBER : http://www.bintangbangsaku.com/artikel/implementasi-model-pembelajaran-anak-tunarungu-di-kelas-inklusi

 

Minggu, 24 November 2013

Pendekatan pengajaran apa yang sesuai bagi mereka ( Anak Tuna Rungu - Wicara ) ?


Bina Persepsi bunyi dan irama merupakan khusus yang wajib diberikan pada setiap anak tuna wucara yang bersekolah di SLB
Bina persepsi bunyi dan irama adalah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dialakukan dengan sengaja atau tidak sehingga pendengaran serta vibrasi yang dimiliki anak tuna rungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia disekelilingnya yang penuh bunyi.
Bina Persepsi bunyi dan irama merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pelajaran bahasa, Oleh karena itu sebaiknya digunakan metode yang juga dipergunakan dalam pelajaran bahasa.
Pengajaran bahasa kepada anak tuna rungu pada umumnya berorientasi kepada kebutuhan anak. Anak membutuhkan komunikasi secara langsung dengan dunia disekelilingnya, mereka ingin bercakap. Jadi pendekatan percakapan yang dalam hal ini anak dapat secara langsung aktif menggunakan bahasa adalah cara yang terbaik. Dalam percakapan ini anak akan menemukan sendiri aturan dalam berbahasa, penemuan sendiri merupakan pengalaman yang tak ternilai karena pada suatu hari nanti anak akan mencoba menggunakan penemuannya itu pada situasi yang sama. Lewat percakapan anak tuna rungu terus menerus mendapat kesempatan memproses bahasanya karena kemampuan berbahasa merupakan hasil perjuangan yang tiada henti-hentinya atas dasar kesalahan dan koreksi-koreksi. Inilah cara belajar siswa aktf ( CBSA ) dengan pendekatan ketrampilan memproses perolehan, jadi bila ingin berhasil dalam melakasanakan bina persepsi bunyi dan irama hendaknya menggunakan metode yang berorientasi pada cara belajar siswa aktif dan pendekatan ketrampilan memproses perolehan.
Adapun cara mengaktifkan anak dalam bina persepsi bunyi dan irama adalah anak diberi tugas dan kita  buat bermacam-macam demonstrsi sehingga anak dapat menemukan sendiri adanya berbagai macam bunyi.
Penemuan ini akan mendorong anak untuk semakin ingin mencari dan ingin tahu terhadap seluk beluk dunia bunyi karena anak mengalami sesuatu yang menyenangkan.

Faktor Penyebab Tunarung-Wicara
 
Menurut Sardjono (1997:10-20) mengemukakan bahwa faktor penyebab ketunarunguan dapat
dibagi dalam:
1) Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (pre natal)
    a) Faktor keturunan
    b) Cacar air, campak (Rubella, Gueman measles)
    c) Terjadi toxaemia (keracunan darah)
    d) Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah besar
    e) Kekurangan oksigen (anoxia)
    f) Kelainan organ pendengaran sejak lahir
2) Faktor-faktor saat anak dilahirkan (natal)
    a) Faktor Rhesus (Rh) ibu dan anak yang sejenis
    b) Anak lahir pre mature
    c) Anak lahir menggunakan forcep (alat bantu tang)
    d) Proses kelahiran yang terlalu lama
3) Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (post natal)
    a) Infeksi
    b) Meningitis (peradangan selaput otak)
    c) Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan
    d) Otitis media yang kronis
    e) Terjadi infeksi pada alat-alat pernafasan
Menurut Trybus (1985) dalam Somat dan Hernawati (1996:27) mengemukakan enam penyebab ketunarunguan yaitu :
1) Keturunan
2) Penyakit bawaan dari pihak ibu
3) Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran
4) Radang selaput otak (mengikis)
5) Otitis media (radang pada bagian telinga tengah)
6) Penyakit anak-anak berupa radang atau luka-luka
(core.kmi.open.ac.uk/download/pdf/12345306.pdf‎)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENDIDIKAN LUAR BIASA.

                                                                         BAB I
                                                           KETENTUAN UMUM

                                                                       Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.         Pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.
2.         Satuan pendidikan luar biasa adalah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan luar biasa.
3.         Rehabilitasi adalah upaya bantuan medik, sosial, pendidikan dan keterampilan yang terkoordinasi untuk melatih peserta didik yang menyandang kelainan agar dapat mencapai kemampuan fungsionalnya setinggi mungkin.
4.         Anak didik adalah peserta didik pada Taman Kanak-kanak Luar Biasa.
5.         Siswa adalah peserta didik pada Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa, dan Sekolah Menengah Luar Biasa.
6.         Orang tua adalah ayah dan/atau ibu atau wali peserta didik yang bersangkutan.
7.         Menteri adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
8.         Menteri lain adalah Menteri yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan satuan pendidikan luar biasa di luar lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

BAB II
TUJUAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

Pasal 2

Pendidikan luar biasa bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.

                                                                        BAB III
                                              JENIS KELAINAN PESERTA DIDIK

                                                                       Pasal 3

(1)       Jenis kelainan peserta didik terdiri atas kelainan fisik dan/atau mental dan/atau kelainan perilaku.
(2)       Kelainan fisik meliputi:
            1.tuna netra;
            2.tuna rungu;
            3.tuna daksa;
(3)       Kelainan mental meliputi :
            1.tuna grahita ringan;
            2.tuna grahita sedang;
(4)       Kelainan perilaku meliputi tuna laras.
(5)       Kelainan peserta didik dapat juga berwujud sebagai kelainan ganda.

BAB IV
BENTUK SATUAN DAN LAMA PENDIDIKAN

Pasal 4

Bentuk satuan pendidikan luar biasa terdiri atas :
1.Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB);
2.Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB);
3.Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB); dan
4.Bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri.

                                                                       Pasal 5

Lama pendidikan pada:
1.Sekolah Dasar Luar Biasa sekurang-kurangnya enam tahun;
2.Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa sekurang-kurangnya tiga tahun; dan
3.Sekolah Menengah Luar Biasa sekurang-kurangnya tiga tahun.

                                                                       Pasal 6

(1)       Pada pendidikan prasekolah, satuan pendidikan luar biasa dapat diselenggarakan dalam Taman Kanak-kanak Luar Biasa.
(2)       Lama pendidikan Taman Kanak-kanak Luar Biasa satu sampai tiga tahun.

                                                                        BAB V
                                          SYARAT DAN TATA CARA PENDIRIAN

                                                                       Pasal 7

(1)       Pendirian satuan pendidikan luar biasa yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat harus memenuhi persyaratan :
            1.         sekurang-kurangnya lima orang peserta didik;
            2.         tenaga kependidikan terdiri atas sekurang-kurangnya seorang guru kelas, dan seorang tenaga ahli;
            3.         kurikulum didasarkan atas kurikulum nasional yang ditetapkan oleh Menteri;
            4.         sumber dana tetap yang menjamin kelangsungan penyelenggaraan pendidikan dan tidak akan merugikan siswa;
            5.         program rehabilitasi;
            6.         tempat belajar dan ruang rehabilitasi;
            7.         buku pelajaran dan peralatan pendidikan khusus;
            8.         buku pedoman guru; dan
            9.         peralatan rehabilitasi.
(2)       Pendirian satuan pendidikan luar biasa yang diselenggarakan oleh masyarakat selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus pula memenuhi persyaratan penyelenggaranya berbentuk yayasan.
(3)       Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

                                                                       Pasal 8

(1)       Tata cara pendirian satuan pendidikan luar biasa yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat meliputi:
            1.         pengajuan permohonan pendirian kepada Menteri yang disertai persyaratan pendirian;
            2.         penelaahan terhadap permohonan tersebut pada butir 1; dan
            3.         penetapan pendirian.
(2)       Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

                                                                        BAB VI
                                            PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

                                                                       Pasal 9

(1)       Satuan pendidikan luar biasa menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2)       Untuk membantu penyelenggaraan kegiatan pendidikan, pada setiap satuan pendidikan luar biasa dapat dibentuk kelompok ahli untuk membantu setiap penyelenggaraan pendidikan.
(3)       Pembentukan, susunan, tugas, dan fungsi serta pembinaan kelompok ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur oleh Menteri.

                                                                       BAB VII
                                                               PENGELOLAAN

                                                                      Pasal 10

Pengelolaan pendidikan luar biasa sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri.

                                                                      Pasal 11

(1)       Pengadaan, pendayagunaan dan pengembangan tenaga kependidikan/tenaga ahli, kurikulum, buku pelajaran, peralatan pendidikan khusus, buku pedoman guru, tempat belajar dari ruang rehabilitasi dari satuan pendidikan luar biasa yang diselenggarakan oleh Pemerintah merupakan tanggung jawab Menteri.
(2)       Pengadaan, pendayagunaan dan pengembangan program rehabilitasi dan peralatan rehabilitasi dari satuan pendidikan luar biasa yang diselenggarakan oleh Pemerintah merupakan tanggung jawab Menteri setelah mendengar pertimbangan Menteri lain.
(3)       Pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan gedung serta penyediaan tanah untuk Sekolah Dasar Luar Biasa yang diselenggarakan oleh Pemerintah merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah.
(4)       Pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan gedung serta penyediaan tanah untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa dan Sekolah Menengah Luar Biasa yang diselenggarakan oleh Pemerintah merupakan tanggung jawab Menteri.
(5)       Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kependidikan dan tenaga ahli, program rehabilitasi, buku pelajaran, peralatan pendidikan khusus, buku pedoman guru, peralatan rehabilitasi, tempat belajar, ruang rehabilitasi, tanah dan gedung beserta pemeliharaannya dari satuan pendidikan luarbiasa yang diselenggarakan oleh masyarakat merupakan tanggung jawab yayasan.
(6)       Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) diatur oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Menteri lain yang terkait.
(7)       Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendengar pertimbangan Menteri.

                                                                      Pasal 12

(1)       Satuan pendidikan luar biasa yang didirikan oleh Pemerintah diselenggarakan oleh Menteri.
(2)       Satuan pendidikan luar biasa yang didirikan oleh masyarakat diselenggarakan oleh yayasan.
(3)       Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

                                                                      Pasal 13

(1)       Kepala Sekolah dari Satuan Pendidikan Luar Biasa bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, kegiatan rehabilitasi, administrasi sekolah, pembinaan guru dan tenaga kependidikan lainnya, tenaga ahli dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana.
(2)       Kepala Sekolah dari Satuan Pendidikan Luar Biasa dapat dibantu oleh scorang Wakil Kepala Sekolah dalam rangka melaksanakan ketentuan ayat (1).
(3)       Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

                                                                      Pasal 14

(1)       Kepala Sekolah dari Satuan Pendidikan Luar Biasa yang diselenggarakan oleh Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, kegiatan rehabilitasi, administrasi sekolah, pembinaan guru dan tenaga kependidikan lainnya, tenaga ahli dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana kepada Menteri.
(2)       Kepala Sekolah dari Satuan Pendidikan Luar Biasa yang diselenggarakan oleh masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, kegiatan rehabilitasi, administrasi sekolah, pembinaan guru dan tenaga kependidikan lainnya, tenaga ahli dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana kepada yayasan yang menyelenggarakan satuan pendidikan luar biasa yang bersangkutan.
(3)       Kepala Sekolah Dasar Luar Biasa yang diselenggarakan oleh Pemerintah berlanggung jawab atas pemeliharaan dan perbaikan gedung serta pemeliharaan tanah kepada Pemerintah Daerah.
(4)       Kepala Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa dan Sekolah Menengah Luar Biasa yang diselenggarakan oleh Pemerintah bertanggung jawab atas pemeliharaan dan perbaikan gedung serta pemeliharaan tanah kepada Menteri.
(5)       Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) diatur oleh Menteri.
(6)       Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur oleh Pemerintah Daerah.

                                                                       BAB VIII
                                                                  KURIKULUM

                                                                      Pasal 15


(1)       Isi program kegiatan belajar pada Taman Kanak-kanak Luar Biasa sedapat mungkin disesuaikan dengan program kegiatan belajar Taman kanak-kanak dengan memperhatikan keterbatasan kemampuan belajar para anak didik yang bersangkutan.
(2)       Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri dan yang berkenaan dengan bidang pengembangan agama diatur oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Menteri Agama.

                                                                      Pasal 16

(1)       Isi kurikulum Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa dan Sekolah Menengah Luar Biasa merupakan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan luar biasa.
(2)       Isi kurikulum Sekolah Dasar Luar Biasa sedapat mungkin disesuaikan dengan kurikulum Sekolah Dasar dengan memperhatikan keterbatasan kemampuan belajar para siswa yang bersangkutan.
(3)       Isi kurikulum Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa sedapat mungkin disesuaikan dengan kurikulum Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dengan memperhatikan keterbatasan kemampuan belajar para siswa yang bersangkutan.
(4)       Isi kurikulum Sekolah Menengah Luar Biasa sedapat mungkin disesuaikan dengan kurikulum Sekolah Menengah dengan memperhatikan keterbatasan kemampuan belajar para siswa yang bersangkutan.
(5)       Kurikulum Sekolah Menengah Luar Biasa ditetapkan untuk menyiapkan siswanya agar memiliki keterampilan yang dapat menjadi bekal sumber mata pencaharian sehingga dapat mandiri di masyarakat.
(6)       Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur oleh Menteri dan yang berkenaan dengan bahan kajian dan pelajaran pendidikan agama diatur oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Menteri Agama.

                                                                        BAB IX
                                                               PESERTA DIDIK

                                                                      Pasal 17

(1)       Untuk dapat diterima sebagai anak didik pada Taman Kanak-kanak Luar Biasa sekurang-kurangnya berusia tiga tahun.
(2)       Untuk dapat diterima sebagai siswa pada Sekolah Dasar Luar Biasa sekurang-kurangnya berusia enam tahun.
(3)       Untuk dapat diterima sebagai siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa seseorang harus telah tamat Sekolah Dasar Luar Biasa atau satuan pendidikan yang sederajat atau setara.
(4)       Untuk dapat diterima sebagai siswa Sekolah Menengah Luar Biasa, seseorang harus telah tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa atau satuan pendidikan yang sederajat atau setara.
(5)       Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur oleh Menteri.

                                                                      Pasal 18

(1)       Peserta didik mempunyai hak:
            1.         memperoleh perlakuan sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan kelainannya;
            2.         memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya;
            3.         mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan;
            4.         memperoleh bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan kelainan yang disandang dan persyaratan yang berlaku;
            5.         pindah ke sekolah yang sejajar atau melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan kelainan yang disandang dan persyaratan penerimaan siswa pada sekolah yang hendak dimasuki;
            6.         memperoleh penilaian hasil belajar;
            7.         menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan; dan
            8.         memperoleh pelayanan khusus sesuai dengan jenis kelainan yang disandang.
(2)       Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

                                                                      Pasal 19

(1)       Peserta didik sebatas kemampuannya berkewajiban untuk:
            1.         ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali yang dibebaskan dari kewajiban tersebut;
            2.         mematuhi ketentuan peraturan yang berlaku;
            3.         menghormati guru, tenaga kependidikan lainnya dan tenaga ahli; dan
            4.         ikut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban dan keamanan sekolah.

(2)       Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri. 

Model Pendidikan Bagi Tuarungu-wicara


Sesuai dengan karakterstik anak tunarungu-wicara yang hampir sedemikian rupa maka layanan yang diberikan untuk ABK penyandang tunarung-wicara adalah
1. Pendidikan Terpadu
    Model pendidikan terpadu bagi anak - anak penyandang tunarungu-wicara merupakan model pendidikan bagi anak - anak berkelainan pendengaran dan wicara atau tunarungu-wicara bersama dengan anak - anak normal lainnya di satu sekolah. Berdasarkan IQ anak tunarungu-wicara sama dengan anak normal lainnya namun hanya mengalami gangguan pada pendengaran dan wicara. Pada pendidikan terpadu sekolah formal menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi tunarungu-wicara bersama anak normal lainnya. Untuk pengajaran disekolah terpadu terdapat gguru tersendiri yang akan menangani anak tunarungu-wicara .
2. Pendidikan Khusus
    Model Pendidikan khusus berbeda dengan model pendidikan terpadu. Dalam pendidikan khusus anak tunarungu-wicara dipisahkan dengan anak normal lainnya yang sering disebut Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB untuk tunarungu-wicara di Indonesia dikenal dengan SLB-B. Pendidikan khusus ini ternyata tidak hanya terdapat pada pendidikan formal saja, tetapi terdapat pada yayasan - yayasan tertentu.

Minggu, 17 November 2013

PENGELOMPOKAN ANAK TUNA WICARA



Mungkin beberapa dari kita hanya menganggap semua anak tuna wicara itu sama, padahal pada realnya anak tuna wicara itu di bedakan menjadi beberapa kelompok :
1.  Keterlambatan bicara ( delsyed speech )
          Adalah seseorang anak yang mengalami keterlambatan dalam bicara dibanding dengan anak normal lainnya. pada umumnya perkembangana bicara anak normal diakhiri pada usia 6 tahun dimana pengucapan kata R harus sudah dapat diucapkan.
2. Gagap ( stuttering )
          Adalah kesulitan anak dalam memulai pembicaraan, dapat berupa pemanjangan fonom atau suku kata depan, pengulangan kata depan. Di samping itu dalam gerak mulut atau berbicara tetapi tidak keluar suara.
3. Kehilangan kemampuan berbahasa ( disphasi )
          Ada berbagai bentuk  kehilangan kemampuan berbahasa mulai dari adanya kesalahan dalam inti pembicaraan sampai tidak dapat berbicara bahasa lisan sama sekali.
4. Kelainan suara ( voice disorder )
          Kelainan ini ditandai dengan adanya perbedaan bicara secara normal, adapun kelainan suara ini meliputi :
- Kelainan nada ( pitch )
   dapat berupa nada tinggi, rendah, dan sedang
- Kelainan kualitas suara
   warna suara yang berupa serak, lemah, dan desah
- Kelainan keras lembutnya suara 
   dapat berupa suara keras dan suara lembut

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes